• October 5, 2020

Menyelamatkan Wibawa Tanah Para Dewa

Menyelamatkan Wibawa Tanah Para Dewa

Menyelamatkan Wibawa Tanah Para Dewa 1024 1024 randhayu16@gmail.com

 

Bu Guru, Telaga Warna kok keruh warnanya?  

Tanya seorang anak pada guru di sela studi wisata.

***

Ya, suka atau tidak, kenyataan memang akan selalu menampar orang yang mengacuhkannya. Pertanyaan di atas muncul untuk mengingatkan kita yang telah lama abai terhadap kelestarian Dataran Tinggi Dieng.

Dataran Tinggi Dieng merupakan salah satu objek wisata unggulan di Provinsi Jawa Tengah. Dieng yang terletak di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo memiliki telaga, kawah, lembah, mata air, perbukitan dan daerah sentra produksi sayuran. Berbagai potensi alam yang dimiliki menjadikan Dieng kawasan lindung yang berarti kelestarian alam di dalamnya harus dijaga demi menjamin penghidupan berkelanjutan (sustainable livehood).
Dataran Tinggi Dieng terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Dieng Wetan atau Dieng bagian timur dan Dieng Kulon atau Dieng bagian barat. Dieng Wetan memiliki luas wilayah 282.000 ha, sedangkan Dieng Kulon memiliki luas wilayah 337.846 ha.
Objek wisata yang terkenal sebagai Tanah Para Dewa perlahan mulai kehilangan pesonanya. Ancaman banjir dan tanah longsor mengintai setiap tahun. Penebangan hutan lindung untuk dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan kentang acap kali dijadikan tersangka utama. Ekstensifikasi pertanian mengakibatkan bukit-bukit di kawasan Dieng menjadi gundul sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, akibatnya kondisi sumber daya air mengalami pendangkalan karena erosi.
Secara geologis, Dataran Tinggi Dieng berada pada kompleks gunung api aktif. Tanah-tanah vulkanik subur yang dihasilkan menjadi daya tarik tersendiri.
Mayoritas petani di Dataran Tinggi Dieng mulai menanam kentang sejak tahun 1980-an saat tanaman tersebut diperkenalkan di Pangalengan, Jawa Barat. Hal ini dikarenakan kondisi alam dan letak geografis Dataran Tinggi Dieng serupa dengan Pangalengan. Selain itu, komoditas kentang menghasilkan perputaran uang yang cepat karena dapat dipanen tiga kali dalam setahun.
Dataran Tinggi Dieng memiliki lahan dengan rata-rata kemiringan 23°. Lahan dengan kemiringan besar tersebut masih saja digunakan sebagai lahan pertanian kentang. Petani kentang umumnya mengakali kondisi tersebut dengan membuat bedengan searah kemiringan lahan. Namun sayangnya, hal ini dilakukan tanpa memperhatikan kaidah konservasi lahan.
Petani menanam tanaman semusim secara intensif pada bedengan yang dibuat searah lereng pada teras bangku yang miring ke luar, serta tanpa ditanami dengan tanaman penguat keras. Kawasan di hulu daerah aliran sungai yang kondisinya telah rusak mengakibatkan daerah di hilir juga akan mengalami kerusakan.
Hal ini diperparah dengan metode pembabatan hutan lindung sebagai ekstensifikasi lahan pertanian. Pertanian kentang telah mengakibatkan 1.064 ha hutan lindungi mengalami kerusakan. Padahal hutan lindung memiliki fungsi sebagai penyedia sumber daya air dan perlindungan alam.
Penggunaan bahan kimia yang berlebihan untuk obat tanaman serta penggunaan kotoran ayam sebagai pupuk tanpa melalui proses dekomposisi turut memicu kerusakan lahan. Kotoran ayam memiliki kelemahan karena membawa penyakit, mengeluarkan bau, serta merusak tanah dan tanaman akibat suhu panas yang dihasilkan ketika lapuk. Sedangkan penggunaan pestisida atau insektisida yang berlebihan mengakibatkan lahan menjadi tercemar bahan kimia serta hama menjadi kebal dan lebih sulit teratasi.
Pembukaan lahan pertanian kentang dengan mengalihfungsikan hutan lindung berdampak pada lingkungan. Hilangnya fungsi hutan lindung sebagai daerah resapan air menyebabkan laju aliran air meningkat sehingga menyebabkan erosi. 
Tanah yang tergerus erosi di Dieng mencapai lebih dari 180 ton per hektar per tahun. Degradasi lahan menyebabkan penurunan kuantitas produksi tanaman kentang. Pada tahun tahun 1990-an jumlah produksi berkisar antara 25-30 ton/ha, namun kini produksi menurun mencapai lebih dari 50% yakni antara 10-13 ton/ha.
Kerusakan hutan lindung, tanah, dan air di Dataran Tinggi Dieng berpengaruh terhadap keberadaan dan kelestarian objek-objek wisata, terutama objek wisata yang berbentuk danau vulkanik atau telaga. Sedimentasi telah mengancam Telaga Warna, Telaga Sewiwi, dan Telaga Balekambang. 
Telaga Warna saat ini telah mengalami perubahan, bahkan sekarang tidak terpancar lagi macam-macam warna yang dulu menjadi ujung tombak nomenklaturnya. Rusaknya organisme Telaga Warna dipicu oleh material erosi yang mengendap di tempat yang lebih rendah. Sama halnya dengan di Telaga Sewiwi. Walaupun Pemerintah Kabupaten Banjarnegara telah memberi wajah baru dengan pembangunan rest area, namun tetap tidak dapat menutupi jejak sedimentasi di Telaga Sewiwi. 
Lebih miris jika melihat kondisi Telaga Balekambang. Telaga yang terletak di sebelah Candi Arjuna itu dulunya berfungsi untuk menampung air agar tidak menggenangi candi. Telaga Balekambang di awal terbentuknya memiliki luas 10 ha. Namun saat ini telah menyusut drastis. Bahkan jika dilihat dari dekat, telaga ini lebih menyerupai genangan air hujan dari pada danau vulkanik.
Tidak hanya mengancam danau vulkanik, degradasi lahan pun mengancam Kompleks Candi Arjuna. Perbukitan di wilayah Dataran Tinggi Dieng yang saat ini gundul mengakibatkan banjir dan longsor saat musim hujan. Pada tahun 2017, banjir melanda Dataran Tinggi Dieng akibat longsoran tanah dari Pegunungan Prau menghalangi aliran air Sungai Serayu. Bahkan banjir yang terjadi pada tahun 2019 mengakibatkan tenggelamnya kaki candi di Kompleks Candi Arjuna.  
1. Sinergi Berbagai Pihak
Pemerintah diharapkan menggandeng masyarakat dan swasta untuk mengelola hutan. Penduduk setempat diberi pelatihan dalam pengelolaan hutan dan mendapatkan akses terhadap manfaat dari sumber daya hutan. Pelatihan diharapkan dapat meningkatkan keterampilan profesional penduduk sehingga mampu mengubah sudut pandang tentang komoditas lain yang dapat menghasilkan perputaran uang dengan cepat. Penduduk perlu diberi pengertian bahwa sumber daya hutan memiliki manfaat jangka panjang yang tidak terukur dengan uang.
2. Teknik pertanian
Penanggulangan kerusakan tanah di Dataran Tinggi Dieng memerlukan teknik pertanian yang benar. Daerah yang memiliki kemiringan lebih dari 15° dibuatkan teras guludan. Pembuatan teras guludan akan mengurangi erosi dan endapan tanah akan tertahan oleh guludan.
3. Komoditas alternatif
Mayoritas penduduk Dataran Tinggi Dieng menggantungkan hidupnya pada komoditas kentang yang memiliki akar serabut yang dangkal. Oleh karena itu, komoditas alternatif yang memiliki akar dalam akan lebih baik untuk mencegah degradasi lahan yang mengakibatkan terjadinya erosi. Komoditas alternatif tersebut haruslah memiliki sisi unggul dalam hal biaya produksi, harga jual, dan jumlah panen dalam waktu satu tahun. Beberapa pilihan tanaman yang dapat dijadikan komoditas alternatif yaitu carica, asparagus, dan terong belanda.
Akhirnya, semua kembali ke manusia dan alam. Diperlukan adanya sinergi dari berbagai pihak untuk menanggulangi kerusakan lingkungan ini. Berhentilah kita menjadi abai, akui kesalahan dan perbaiki. Anak cucu kita kelak berhak tahu indahnya Telaga Warna dari Batu Ratapan Angin, megahnya Kompleks Candi Arjuna tanpa ancaman banjir, dan wibawa lain dari Tanah Para Dewa dengan mata sendiri.
***
Disclaimer:
Artikel ini diikutsertakan dalam Writing Challenge: Meneropong ‘Negeri Kayangan’ Dieng. Setiap gambar yang ditampilkan diolah oleh penulis dari berbagai sumber dengan menyertakan referensi di akhir artikel.
Kompas. 2017. Ini Penyebab Banjir di Dataran Tinggi Dieng. Diakses secara daring melalui  https://regional.kompas.com/read/2017/02/28/14222101/ini.penyebab.banjir.di.dataran.tinggi.dieng pada tanggal 3 Oktober 2020.
National Geographic Indonesia. 2015. Dieng Butuh Keselarasan Alam dan Manusia. Diakses secara daring melalui https://nationalgeographic.grid.id/read/13300636/dieng-butuh-keselarasan-alam-dan-manusia pada tanggal 4 Oktober 2020.
 
Respatiadi, Hizkia. 2017. Mencegah Banjir dan Tanah Longsor: Studi Kasus Metode Alternatif Pengelolaan Risiko Bencana di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah. Diakses secara daring  melalui https://repository.cips-indonesia.org/publications/270470/mencegah-banjir-dan-tanah-longsor-studi-kasus-metode-alternatif-pengelolaan-risi pada tanggal 3 Oktober 2020.
Rusiah, M. Nurhadi Satya, Ahmad Saifudin. 2005. Dampak Aktivitas Pertanian Kentang Terhadap Kerusakan Lingkungan Objek Wisata Dataran Tinggi Dieng. Pelita, Vol. 1 No. 1, Agustus 2005.